Hai guys, aku membuat cerpen nih ...
"Mungkinkah aku akan mendapatkan cinta dalam perjalananku, walau hanya berpegang pada sedikit memori yang kubawa"
Vivi masih teringat saat
pertama dan terakhir kali lelaki itu tersenyum, bahkan ia tidak akan
pernah lupa dengan sosok heroiknya kala membantunya waktu itu. Di sebuah
rumah pertokoan ini ia berdiri, memorinya seolah berputar seperti
sebuah film yang biasa ia tonton.
17 Agustus 2013
"Vi, bangun. Aduh
tolong dong bantuin, ada yang pingsan nih," teriak Jeni teman satu kelas
dan satu sekolah dengan Vivi. Gadis berambut sebahu tersebut begitu
cemas melihat teman baiknya jatuh pingsan. Sepertinya ini gara-gara Vivi
tidak sarapan tadi pagi, sebelum ia mengikuti upacara tingkat provinsi
untuk 17 Agustus hari ini.
Beruntung upacaranya
sudah selesai, Vivi bisa batal menjadi dirigen kalau ia sampai pingsan
lebih dulu. Tak lama kemudian, seorang lelaki yang tadi bertugas
menjadi petugas upacara menghampiri keduanya.
"Kenapa?" Lelaki itu bertanya sambil menatap Vivi yang masih berada di pangkuan Jeni.
"Pingsan Kak,
tolongin dong." Jeni setengah memohon, gurat kecemasannya masih terlihat
jelas di wajah mulusnya. Lelaki itu dengan cepat memindahkan tubuh Vivi
ke dalam rangkulannya, membawanya ala bride style.
"Kita ke sana," seru
lelaki itu, Jeni mengangguk patuh. Mereka berjalan menuju tenda
kesehatan yang sudah lumayan sepi, lalu membaringkan tubuh Vivi di atas
kasur busa yang sudah disiapkan di sana.
Entah kemana perginya
petugas kesehatan saat ini, tidak ada yang berjaga satu orangpun. Atau
mungkin mereka sedang beristirahat karena upacara sudah selesai setengah
jam yang lalu.
"Tolong, kamu cari air putih atau teh hangat ya." Lelaki itu memberi perintah pada Jeni.
Sepeninggal Jeni,
lelaki itu membuka kotak obat yang ada di dalam tenda. Ia meraih minyak
angin lalu membalurinya di sekitar dahi dan leher, sesekali ia oleskan
sedikit di hidungnya. Namun, masih belum ada reaksi apapun dari gadis
itu.
Dengan ragu-ragu ia
membimbing tangannya untuk meraih jemari lentik gadis itu. Digenggamnya
perlahan, ia dapat merasakan dinginnya tangan itu. Lelaki itu pun
mengelus lembut punggung tangan putih nan lembut milik gadis tersebut.
Memerhatikan setiap inci wajah orientalnya, bulu mata lentiknya semakin
menambah kecantikan saat matanya terpejam meski wajahnya polos tanpa
make up. Lelaki tersebut terus tersenyum saat memandang gadis yang masih
pingsan itu.
"Kamu kelihatan gadis yang kuat, ayo bangun! Kasihan temanmu yang sangat begitu cemas." Lelaki itu masih setia menggenggam tangan Vivi.
Tak lama kemudian, Jeni kembali ke tenda kesehatan dengan membawa teh hangat di dalam cup. Lalu ia menaruhnya di atas meja kecil yang berisikan beberapa obat-obatan.
"Aku simpan di sini minumannya ya Kak," ujar Jeni masih menatap cemas ke arah teman baiknya.
"Oh iya. Makasih ya," sahut lelaki itu tersenyum manis.
"Loh aku yang
harusnya makasih dong Kak. Kakak kan udah bantuin temanku," ungkap Jeni
dengan tulus. Lalu ia duduk di samping Vivi, melihat temannya yang masih
memejamkan mata.
"Apa temanmu punya riwayat sebuah penyakit serius?"
"Vivi punya maag sih Kak, ditambah tadi pagi dia nggak sarapan karena buru-buru mau latihan," jawab Jeni prihatin.
"Dia yang tadi bertugas jadi dirigen kan?"
"Iya Kak, Vivi memang
selalu ditunjuk jadi dirigen setiap upacara karena tangannya udah luwes
banget Kak." Jeni terus bercerita sementara mata lelaki itu masih terus
memerhatikan temannya. "Teman-teman kakak pada ke mana?"
"Tadi sih lagi pada istirahat mungkin sekalian makan siang," jawabnya.
"Kak, kalau kakak mau istirahat dan makan nggak apa-apa kok. Aku yang jagain Vivi, mungkin sebentar lagi dia bangun. Takutnya kakak masih punya urusan lain," seru Jeni terlihat cemas ke arah lelaki itu.
Jeni merasakan ada
pergerakan pada tubuh Vivi, ia langsung beralih memandang temannya. Vivi
membuka matanya perlahan, melihat ke sekeliling ruangan dan ke arah
Jeni.
"Vi, lo udah
sadar." Jeni berteriak senang lalu beralih menatap lelaki itu. "Kak,
Vivi udah sadar." Jeni memberitahu, padahal jelas-jelas lelaki itu
mengetahuinya. Ia tersenyum menatap Vivi yang masih mengerjap. Lelaki
itu memberikan teh hangat pada Jeni, kemudian dengan hati-hati Jeni membatu Vivi untuk minum.
"Vin, lo di sini
ternyata." Seorang lelaki yang mengenakan seragam yang sama dengan
lelaki itu memanggil. "Ayo, anak-anak udah kumpul mau briefing di
sekolah." Lelaki itu melanjutkan kalimatnya.
"Oh oke, ayo." Lalu lelaki itu mengikuti langkah temannya, sebelum itu ia tersenyum ke arah Vivi dan pamit pada Jeni.
"Makasih ya Kak," teriak Jeni saat lelaki itu hilang dari pandangannya, lalu ia kembali fokus membantu Vivi.
***
Sejak kejadian itu, Vivi
mulai mencari tahu sosok lelaki yang sudah menolongnya pada waktu itu.
Meski, ia tidak tahu siapa namanya karena Jeni juga lupa menanyakan hal
tersebut. Namun, menurut informasi yang ia dapatkan selama ini. Lelaki
itu sekolah di SMAN 84, Vivi punya tetangga yang sekolah di sana.
Tapi percuma saja ia
menanyakan, toh Vivi tidak tahu nama dari lelaki itu. Hanya sebuah
gantungan kunci yang ditinggalkan olehnya, sebagai petunjuk bagi Vivi.
Di sana ada inisial huruf E dan A, entah itu nama pemilik gantungan
kunci tersebut atau hanya sebuah huruf biasa.
Setiap tanggal 17
Agustus, Vivi selalu menyambangi lapangan tempat di mana ia upacara dan
dirawat dulu. Berharap suatu hari lelaki itu tiba-tiba datang ke sana.
Vivi hanya ingin berterima kasih padanya, rasanya ada yang kurang saat
ia belum mengucapkan rasa syukurnya karena seseorang sudah memberikan
bantuan kepada dirinya. Karena sejak kecil, Vivi dididik untuk tidak
melupakan jasa seseorang yang sudah membantunya.
Tapi, kalau hanya ucapan
terima kasih. Kenapa, otaknya masih merekam senyuman manis yang
ditinggalkan oleh lelaki itu. Mengingatnya saja membuat perut Vivi
menggelitik, seolah banyak kupu-kupu yang berterbangan di dalam sana.
Mungkinkah dirinya telah
jatuh cinta pada sosok heroik itu, lelaki pelindungnya. Entah lelaki
itu masih mengingatnya atau tidak, karena waktu sudah berjalan cukup
lama. Lima tahun yang lalu. Hanya orang bodoh yang masih menunggu lelaki
tanpa identitas tersebut.
"Vi, lo masih berharap
ketemu sama kakak itu?" Jeni ikut duduk di atas ayunan, di samping Vivi.
Keduanya tetap berteman hingga mereka sudah kuliah seperti sekarang
ini.
Vivi tersenyum samar, seolah pertanyaan Jeni adalah hal yang harus di akuinya. Memorinya kembali berputar pada satu moment,
saat ia merasakan tangan hangat yang menggenggamnya dulu. Sebenarnya ia
sudah setengah sadar waktu itu, namun matanya masih enggan terbuka
seolah ada lem yang menempel di sana.
"Besok tanggal 17
Agustus, lo mau ke sana lagi? Gue dengar-dengar lapangan itu udah nggak
dipakai buat upacara lagi Vi. Lapangannya udah dibangun sesuatu,
soalnya lapangan itu bukan punya pemda." Jeni menjelaskan sesekali
mencomot keripik kentang miliknya.
Vivi hanya diam tidak
menanggapi, namun ia sangat meresapi setiap ucapan teman baiknya itu. Di
dalam hatinya seperti ada sesuatu yang terus mendorongnya agar tetap
datang ke tempat kenangannya tersebut.
***
Bersemi di padang rumput yang sunyi
Aku mengawasimu lewat angin malam
Lewat derasnya hujan
Hatiku sedang mencari seseorang
Aku mengawasimu lewat angin malam
Lewat derasnya hujan
Hatiku sedang mencari seseorang
Sejak lama aku menanti keberadaanmu
Menunggu dalam diamku
Akahkah kita bertemu?
Wahai sang pelindungku
Menunggu dalam diamku
Akahkah kita bertemu?
Wahai sang pelindungku
"Ternyata kamu nggak banyak berubah." Suara seseorang memenuhi gendang telinganya. Saat ia sedang berdiri menatap lapangan yang sudah hampir berubah menjadi sebuah bangunan rumah pertokoan.
Vivi menengok ke arah sumber suara di belakangnya, seorang lelaki berpakaian kasual. Celana jeans dan sweater navy blue, membuatnya semakin terlihat eye catching.
"Lama kita nggak ketemu,
Vivi Andrea." Lelaki itu menyapa. Kenapa ia bisa tahu nama dirinya, dan
siapa sebenarnya lelaki tersebut. "Ternyata selera potongan rambutmu
nggak berubah." Lelaki itu mendekat ke arahnya, memiringkan sedikit
kepalanya untuk melihat wajah Vivi secara jelas.
Vivi merasa gugup
ditatap seintens itu olehnya. Akhirnya ia memutuskan untuk menghindari
lelaki itu. Vivi berjalan ke arah motornya dan berniat untuk
meninggalkan tempat tersebut.
"Kamu masih sering
pingsan?" Pertanyaan lelaki itu menghentikan jemarinya saat menyalakan
mesin motor. Ia menengok kembali ke arah lelaki itu. "Remember me?" Alisnya dinaik turunkan seolah melempar kode agar Vivi segera menjawab pertanyaannya.
"Kamu," ucap Vivi seraya berpikir. "Apa kamu cowok itu?" Lelaki itu tersenyum manis.
Ah senyum itu. Bagaimana
Vivi bisa melupakan senyuman itu. Lesung pipi di sebelah kirinya
membuat tanda tersendiri bagi Vivi untuk mengingatnya. Ya benar, lelaki
itu adalah pelindungnya. Sosok heroik yang selama ini ia nanti dan ingin
ditemuinya.
Senyum Vivi mengembang,
membuat matanya terlihat segaris. Lelaki itu ikut tersenyum, karena baru
kali ini ia menyaksikan Vivi tersenyum dari jarak yang sangat dekat.
"Kenapa kamu baru muncul
sekarang?" Ucapan pertama yang keluar dari mulut gadis itu. "Aku selalu
nunggu kamu di sini." Vivi mengungkapkan dengan jujur tanpa keraguan di
wajahnya sedikitpun.
"Aku tahu," jawabnya.
Lelaki itu kembali tersenyum. Vivi bingung maksud dari jawabannya. "Iya,
aku juga selalu datang ke tempat ini, setiap tanggal 17 Agustus untuk
melihat kamu." Vivi semakin bingung dengan penuturannya.
"Maksud kamu?"
"Namaku Ervin Aditya,"
ungkapnya sambil mengulurkan tangan kepada gadis itu. Meski bingung Vivi
tetap menyambut jemari hangat tersebut. "Maaf, karena udah membuat kamu
menunggu selama ini. Aku nggak bermaksud mengerjai kamu atau main petak
umpat. Aku hanya ingin tahu, apakah kamu serius ingin bertemu
denganku."
"Jadi selama ini kamu tahu tentangku?" Ervin mengangguk cepat.
"Sejak hari itu. Aku mencari tahu tentang kamu, Vi. Dan semenjak aku menolong kamu pada waktu itu. Kamu udah aku tandai."
"Tandai?" Lelaki itu mengangguk lagi.
"Aku menandai kamu untuk
aku jaga. Aku ingin memastikan kamu nggak akan pingsan seperti waktu
itu lagi. Meski dari kejauhan, tapi aku terus memerhatikan kamu."
Vivi mencoba mencerna setiap ucapan yang Ervin lontarkan padanya, masalahnya semua ini sulit untuk ia pahami dengan cepat.
"Alasan kamu apa, melakukan semua itu?"
"Alasanku adalah ...
karena aku menyukai kamu." Senyum Vivi merekah, menatap Ervin yang mulai
menggenggam kedua tangannya dengan sangat lembut.
Tak ada yang lebih indah
Selain dua hati sudah bertemu
Karena saling dipertemukan
Keduanya berhenti, sebab telah selesai mencari
Selain dua hati sudah bertemu
Karena saling dipertemukan
Keduanya berhenti, sebab telah selesai mencari
***
Gomawo
Suliz ^_^
Komentar
Posting Komentar